'/> Legenda La Hila Dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat

Info Populer 2022

Legenda La Hila Dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat

Legenda La Hila Dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat
Legenda La Hila Dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat
Legenda La Hila dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat | TradisiKita - La Hila yaitu sebuah dongeng masyarakat Bima yang tinggal di dataran tinggi Donggo. La Hila merupakan sosok perempuan anggun jelita, yang menjadi rebutan pada laki-laki pada waktu itu. Bahkan alasannya kecantikannya menciptakan banyak laki-laki yang saling membunuh untuk memperebutkannya. Hal ini tentu tidak menciptakan bahagia La Hila yang dikenal mempunyai kebijaksanaan pekerti yang sangat baik. Kesedihan La Hila ini menciptakan final dongeng ini berakhir murung pula.

Penasaran dengan alur dongeng masyarakat Bima mengenai Legenda La Hila ini? Yuk ketahui sekomplitnya dibawah ini :

Legenda La Hila dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat


Ada sebuah dongeng di masa silam. Dongeng ini datangnya dari tanah Donggo yang tinggi. Pasalnya ada seorang gadis yang sangat anggun di Donggo Kala. Tidak ada orang yang tahu anak siapa si gadis itu. Namanya La Hila. Tapi La Hila dibesarkan oleh seorang nenek yang berjulukan Wa’i Kimpi. Dengan penuh ketabahan Wa’i Kimpi membesarkan La Hila. Dia jaga dan rawat La Hila layaknya mirip anak kandungnya sendiri. Kasih sayang Wa’i Kimpi tiada pupus untuk La Hila.

Kecantikan La Hila tiada bandingannya. Wajahnya yang bulat, putih dan membersihkan. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang manis dan tipis. Lehernya yang indah, bila meminum sesuatu kelihatanlah anutan air dan makanannya.Jika ingin mengeringkan rambutnya, maka disiapkanlah tujuh buah galah untuk menjemur rambutnya.

Perangai La Hila cukup baik dan bersahaja. Tutur katanya sangat halus. Tingkah lakunya sungguh sopan. Semua orang di kampung itu bahagia melaihat La Hila. Seperti ungkapan, La Hila yaitu kuncup dan bunga desa itu. Bunga dari sekian banyak bunga di kampung Kala itu.

Ada sebuah sungai yang mengalir dan airnya cukup membersihkan. Sungai itulah yang menjadi kawasan mandi La Hila bersama Inang Pengasuhnya. Tujuh perempuan diperlukan untuk memegang rambut La Hila. Tujuh buah kelapa yang dipakai untuk keramas rambut La Hila. Pokoknya mesti tujuh. Seperti tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.

Kecantikan dan kemolekan La Hila sudah tersiar ke seantero negeri. Banyak cowok yang ingin melihat La Hila. Kabar perihal kecantikan La Hila sudah tersiar hingga ke kerajaan Bima dan Tanah Sanggar. Di kerajaan Bima, ada putera mahkota yang tampan berjulukan Siri Gani. Sedangkan di kerajaan Sanggar ada putera Mahkota yang juga tampan berjulukan Siri Dungga.

Karena ingin melihat La Hila, putera Mahkota Kerajaan Bima yang berjulukan Siri Gani pergi berburu ke dataran tinggi Donggo. Dia ingin sekali melihat La Hila. Pada suatu kadab di pagi hari, La Hila sedang mandi. Dia berjalan mengikuti La Hila hingga tiba di rumahnya. Dia sampaikan keinginannya pada Wa’i Kimpi yang sedang memasak.

“ Wa’i,saya putera Mahkota Kerajaan Bima.Saya sangat mengasihi La Hila dan ingin berkeluargainya. “ Siri Gani memberikan keinginannya.

“ Itu harapan yang baik sekali. Tapi tiruana itu akan berpulang pada harapan hati La Hila. “

“ Itulah yang ingin saya sampaikan. Apakah saya harus menyuruh juru lamar kerajaan untuk tiba kemari ? Siri Gani memberikan

“ Saya Tanya dulu La Hila.”

Sebentar kemudian Wa’i Kimpi pergi menanyakan kepada La Hila. Dijawabanlah oleh La Hila bahwa beliau akan berpikir-pikir dulu.Tapi tidak apalah bila Putera Mahkota tiba untuk jalan-jalan kalau ada waktu. Mendengar isi hati La Hila itu senanglah hati Siri Gani. Itu pertanda bahwa ada yang ditunggu.

Tetapi keesokan harinya, Putera Mahkota kerajaan Sanggar yang berjulukan Siri Dungga mendatangi kediaman La Hila. Melihat kecantikan La Hila matanya tiada berkedip. Seperti halnya Siri Gani, Siri Dungga juga ingin berkeluargai La Hila. Sehabis mandi, Siri Dungga bersama para pengawalnya mendatangi kediaman La Hila. Dia memberikan eksklusif keinginannya kepada La Hila. Lalu dijawabanlah oleh La Hila.

“ Berikan kesempatan saya untuk berpikir. Tapi tidak apa –apalah bila tiba untuk jalan-jalan dulu. “

Mendengar jawabanan La Hila itu, senanglah hati Siri Dungga. Hatinya mirip bunga yang sedang mekar. Karena senangnya, beliau tidak pernah berpikir jauhnya tanah Sanggar untuk pulang pergi ke tanah Donggo.

Hati La Hila sudah mulai bimbang. Susah untuk dipilih di antara dua cowok yang mencintainya. Mereka sama-sama baiknya. Sama-sama gagahnya. Sama-sama anak raja. Jika diterima cintanya Siri Gani , beliau takut atas kemarahan Raja Sanggar. Begitu juga bila beliau terima cintanya Siri Dungga. Dia mulai takut akan terjadi peperangan di antara dua kerajaan itu. Dia tidak bias tidur sepanjang malam. Berpikir dan terus berpikir siapa yang harus beliau terima di antara keduanya. Keesokan harinya, beliau sampaikan kepada Wa’i Kimpi.

“ Ibu, saya sedang susah sekali menentukan di antara dua cowok itu. “

“ Ia, anakku. Saya juga berpikir hal yang sama. Saya khawatir ini akan terjadi peerangan dan keributan antara dua kerajaan. “ Ternyata Wa’i Kimpi juga berpikir yang sama mirip anaknya La Hila.

“ Bagaimana Ibu, bila dua orang itu sama –sama datang.” La Hila sangat sedih. Sampai-sampai ia berkeinginan untuk menghilang dari tanah Donggo.

“ Berpikirlah kembali anakku. Saya tergantung keputusanmu. Tapi kau harus punya pilihan. “ Demikian pesan Wa’i Kimpi kepada La Hila.

Keesokan harinya sebagaimana biasa La Hila pergi mandi dengan Wa’i Kimpi dan beberapa gadis desa. Kadab sedang asyik mandi. Dia melihat ke atas di celah pohon diberingin besar. Ada dua orang cowok yang sedang bangun berhadap-hadapan dan saling mengeluarkan keris. Sesaat kemudian dua orang cowok tampan itu berkelahi. La Hila, Wa’i Kampi dan beberapa gadis itu mengenal dua cowok yang sedang bertarung itu. Tiada lain yaitu Siri Dungga putera mahkota kerajaan Sanggar dan Siri Gani putera mahkota kerajaan Bima.

Kadab pertarungan sengit terjadi di antara dua putera mahkota itu. Berteriaklah Wa’i Kampi melarang mereka berkelahi. Tapi tidak diindahkan oleh keduanya. Mereka tetap bertarung dan berguling-guling di atas bukit itu. Mereka saling menikam di atas bukit itu. La Hila hanya terdiam, air matanya berlinang. Tapi tidak kelihatan tangisannya. Wa’i Kimpi dan beberapa gadis itu terus berteriak melarang mereka berkelahi.

Sesaat kemudian, terlihatlah oleh Wa’i Kimpi mereka berdua tergeletak di atas bukit itu. Mungkin mereka sudah tewas di atas itu. Wa’i Kimpi memanggil penduduk kampung yang laki-laki untuk naik ke atas bukit untuk melihat dan melerai perkelahian di antara dua putera mahkota itu. Setelah itu Wa’i Kimpi dan beberapa gadis itu kembali ke kawasan permandian. Tetapi apa yang terjadi ? La Hila sudah tidak ada di kawasan itu. La Hila telah menghilang.

Susah dan murung hati Wa’i Kimpi kehilangan La Hila. Anak yang beliau besarkan sehabis dimembuang orang dan beliau besarkan mirip halnya anaknya sendiri. Kini sudah tidak ada lagi. Wa’i Kimpi terus menerus menangis. Beberapa gadis juga turut menangis alasannya setiap hari mereka bersama-sama. Dicari dan terus dicari tetapi tidak pernah tampak. Mereka memanggil di setiap pojok kampung. Sedangkan orang-orang yang mendaki bukit pergi melihat Siri Dungga dan Siri Gani. Mereka tidak melihat dua orang putera Mahkota itu. Mereka menemukan sisa darah yang kemudian menjadi merah menyala di gunung itu dan dua buah kerikil mirip halnya kuburan. Orang-orang itu menjadi takut menaiki bukit itu. Karena tidak lagi melihat dua orang yang saling menikam tadi. Siri Dungga dan Siri Gani sudah menghilang juga. Dicari dan terus dicari di setiap pohon dan mata air, tetapi tidak ada yang menyahut.

Setiap hari Wa’i Kimpi terus mencari La Hila. Tetapi tidak pernah menemukannya. Setelah itu Wa’i Kimpi melantunkan senandung untuk terus mencari La Hila.

(Dimanakah wahai anakku La Hila yang bagai sekuntum bunga,
Yang cantiknya tiada terkira,
Yang bayangannya selalu muncul.)

Di bersahabat sumur kawasan La Hila, Wa’i Kimpi dan para gadis itu mand,. Tiba-tiba tumbuh serumpun bambu. Bambu itu cukup rindang. Duduklah Wa’i Kimpi di bersahabat pohon bambu itu. Dalam tangisannya itu, dicubitlah batang-batang bambu itu. Terkejutlah Wa’i Kimpi mendengar tangisan dari dalam bambu itu.

“ Ibu…ibu,,, jangan dicubit bambu ini. Ada saya di dalam bambu ini. “

“ Iya anakku, engkau kah La Hila ? “ Wa’i Kimpi memeluk bambu itu.

“ Iya ibu, saya La Hila. Ludang keringh baik saya menghilang begini, semoga tidak terjadi keributan, peperangan alasannya memperebutkan saya. “

Wa’i Kimpi tidak sanggup menahan tangisannya. Dia terus menerus memeluk rumpun bambu itu. Akhirnya, bambu, sumur, dengan rumah kawasan tinggal La Hila masih ada hingga kini di Donggo Kala Bima. La Hila nan anggun jelita telah menghilang.

Demikian Sobat tradisi, legenda si anggun La Hila dari Tanah Donggo Nusa Tenggara Barat. Jangan lupa kunjungi artikel kami lainnya perihal keindahan budaya dan tradisi Nusa Tenggara Barat.

Sumber Cerita : https://alanmalingi.wordpress.com/2014/01/08/la-hila/
Advertisement

Iklan Sidebar