'/> Kaum Muda Dan Kepemimpinan Alternatif

Info Populer 2022

Kaum Muda Dan Kepemimpinan Alternatif

Kaum Muda Dan Kepemimpinan Alternatif
Kaum Muda Dan Kepemimpinan Alternatif
Kaum Muda dan Kepemimpinan Alternatif
Oleh: Aryanto Abidin

Setiap generasi yaitu milik zamannya masing-mmasing, demikian juga dalam hal regenerasi kepemimpinan. Dalam setiap suksesi kepemimpinan, maka akan lahir pemimpin gres sesuai dengan huruf zamannya masing-masing. Ketika pada masa awal terbentuknya republik ini, banyak anak negeri yang terlahir sebagai tokoh-tokoh muda yang bisa menggerakan emosi dan seluruh kekuatan bangsa untuk melawan penjajahan, baik secara fisik maupun secara politik. Sebut saja Jenderal sudirman, Sokarta, Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, HOS Cokroaminoto, dr. Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, dll. Mereka semua yaitu tokoh muda yang besar lengan berkuasa pada masanya. Mereka tidak terlahir begitu saja, akan tetapi mereka mepersiapkan diri jauh hari sebelumnya. Mereka sadar betul bahwa mereka lah yang akan mewariskan negeri ini. Karena mereka sadar akan eksistensinya, maka merekapun mempersiapkan diri untuk menjadi serpihan terpenting dari negeri ini. Jika membaca lembaran sejarah kita, maka kita akan menemukan warisan kejayaan anak muda bangsa ini dalam membangun dan memerdekaan bangsa ini. 
Reformasi 1998 merupakan bukti betapa orang-orang muda yang berpikiran progresif bisa menumbangkan rezim yang berkuasa (orde baru). Peristiwa tersebut merupakan sebuah kejadian besar dalam sejarah gerakan mahasiswa. Betapa tidak, mahasiswa Indonesia yang ketika itu populasinya hanya 2 persen dari penduduk Indonesia bisa meruntuhkan rezim yang kuat dan sewenang-wenang yang telah berkuasa selama 32 tahun. Bagi gerakan mahasiswa, keberhasilan ini merupakan sebuah pengalaman baru. Runtuhnya rezim orde gres sekaligus menandai runtuhnya simbol kediktatoran rezim yang berkuasa. Rasa-rasanya ini menyerupai sebuah romantisme masa lalu, akan tetapi mau tidak mau, suka tidak suka itulah kenyataan yang tak terbantahkan dari kejadian heroik anak muda bangsa ini.
Reformasi 1998 membawa angin segar bagi terciptanya demokratisasi di negeri ini. Sayangnya, perubahan besar ini tidak diwarnai dengan perubahan yang berarti dalam pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja korupsi yang semakin merajalela, kondisi ekonomi yang kian terpuruk, sekalipun telah beberapa kali ganti pemerintahan. Era pemerintahan Megawati, terjadi penjulan aset negeri ini kepda absurd secara serampangan dan membabi buta. Pada masa pemerintahan Megawati pulalah diterbitkannya surat pengampunan utang (release and discharge/R&D) bagi koruptor kelas kakap negeri ini. Yang lebih mengerikan lagi yaitu ketika pemerintahan Gus Dur. Pada pemerintahannya Gusdur merupakan sosok pemimpin yang kontroversial. Gusdur selalu mengeluarkan pernyataan politik yang kontroversial dan cenderung menafsirkan aturan semaunya dan selalu melawan arus. 
Perjuangan gerakan mahasiswa 1998 menjadi hirau taacuh dan sedikit ternodai oleh gaya kepimpinan pemerintah yang berkuasa pasca reformasi. Bukan memperbaiki dan mensejahterahkan rakyat, justru reformasi dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mengeruk laba sebanyak banyaknya, serta menancapkan kuku kekusaan. Hal ini menjadi indikasi betapa momentum reformasi dijadikan alat kekuasaan yang sangat keji tanpa ada niat sedikitpun untuk memperbaiki negeri ini dari keterpurukan. Meskipun rezim orde gres telah runtuh, namun tabiat orde gres masih menempel pada orang yang mengendalikan pemerintah pasca reformasi. Hal ini menerangkan bahwa usaha mahasiswa dan cowok hanya sebagai martil perubahan saja. Oleh alasannya yaitu itu, penting artinya jikalau orang-orang muda yang berpikiran progresif menjadi penyeimbang dalam sistem kepimimpinan nasional kita hari ini. 
Siapakah Kaum Muda itu? 
Dalam konteks keindonesiaan ketika ini, kita membutuhkan pemimpin alternatif yang sanggup menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk maju. Kepemimpinan yang dimaksud yaitu kepemimpinan kaum muda yang transformatif (mampu merefleksikan gagasan/ide ke tataran praksis). Akan tetapi, perlu kita samakan persepsi dulu, siapakah kaum muda itu? Apakah definisi kaum muda itu semata-mata ditentukan berdasarkan batasan umur saja? Ataukah kaum muda itu yaitu sebuah definisi yang digunakan dalam pergulatan pemikiran ataupun gagasan? Jika kita merujuk pada kamus besar bahasa indonesia edisi kedua (1995), maka definisi cowok yaitu mereka yang sudah mulai sampaumur dan sudah hingga umur untuk kawin. Dalam undang-undang perkawinan, usia kawin yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki. Sedangkan dalam klarifikasi undang-undang tersebut, usia sampaumur yaitu 21 tahun. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum muda yaitu mereka yang berumur mulai 16 tahun hingga 50 tahun. Tapi ada juga yang mengambil batasan umur 18-50 tahun. Beberapa pendapat menyampaikan bahwa usia produktif yaitu berkisar antara 25-55 tahun. Dalam pandangan Pramudya Ananta Tour, kaum muda tidak bisa dikotakan dalam batasan umur semata, akan tetapi kaum muda yaitu mereka yang mempunyai gagasan yang progressif, radikal dan militan. Oleh alasannya yaitu itu, batasan umur akan menjadi gugur jikalau gagasan mereka cenderung status quo.
Kita meski berkaca pada Ahmadinejad (Iran), Hogo Chavez (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia) serta pada Soekarno, pendiri bangsa ini. Mereka ini yaitu pemimpin yang pemberani dan mempunyai wangsit dan gagasan yang progresif, radikal dan militant. Negara-negara ini berhasil menegakan kepalanya di pergaulan internasional, meskipun ketiga Negara tersebut oleh Amerika dianggap kontroversi. Ini karena karna pemimpin mereka punya keberanian terhadap intervensi absurd terhadap Negara mereka. Ahmadinejad berhasil meyakinkan PBB bahwa mereka tidak memanfaatkan nuklir sebagai senjata pemusnah massal serta menantang Gerge W Bush untuk berdebat. Evo Morales dan Hugo Chavez dengan negara penghasil minyaknya berhasil menasionalisasi aset dan mengusir perusahaan absurd keluar dari negara mereka alasannya yaitu dianggap mengeruk kekayaan negera mereka. Lebih gila lagi, Hugo Chavez menyebut George W. Bush sebagai iblis di depan majelis PBB. Soekarno pada masa kepemimpinannya bisa menyebabkan Indonesia sebagai negara berdaulat dan disegani di mata dunia.
Mengapa Harus Kepemimpinan Alternatif?
Kita ketahui bersama, meskipun pemerintahan SBY-JK terpilih eksklusif oleh rakyat dalam pemilu 2004, namun pemerintahan yang kini gagal menjalankan fungsinya mensejahterakan rakyat Indonesia. Dalam pemerintahan ini pula, harga BBM telah dua kali mengalami kenaikan. Meminjam pisau analisisnya Firmansyah (www.alumnihmi.com) bahwa kita sedang mengalami Kompleksitas nasional. Lebih lanjut Ia menyampaikan bahwa sehabis 100 tahun kebangkitan dan 10 tahun reformasi ini  masih ditandai dengan lemahnya struktur dan daya saing perekonomian, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, besarnya hutang luar negeri, tingkat kemiskinan dan pengangguran, tuntutan demokratisasi, dan bahaya desintegrasi. Sedangkan pada tataran internasional, ditandai situasi, kondisi, tantangan dan tuntutan, yang makin kompleks, selalu berubah, penuh ketidakpastian, dan bahkan sering tidak ramah.  Perkembangan lingkungan stratejik tersebut menuntut pemimpin dan yang solid, bisa mengantisipasi perkembangan ke depan, membangun visi, misi, dan strateji serta membuatkan langkah-langkah kebijakan, sistem kelembagaan dan administrasi pemerintahan yang relevan dengan kompleksitas perkembangan, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi pada tataran nasional maupun internasional
Secara historikal, Indonesia mempunyai contoh yang sama dalam hal pergantian kepemimpinan nasional, yakni berawal dari krisis ekonomi dan krisis politik. Saiful Mujani (Tempo edisi 36/29 Oktober - 04 November 2007) menerangkan bahwa munculnya kepemimpinan nasional Orde Baru dan Orde reformasi/demokrasi kini memang tidak bisa dibandingkan, tapi ada kesamaan yang sangat krusial: ketiga orde tersebut dimulai dari krisis ekonomi-politik. Orde Lama diawali dengan instabilitas pemerintahan, separatisme, dan krisis konstitusi; Orde Baru diawali dengan krisis ekonomi dan konflik antara Orde Lama, terutama PKI, dan lawan-lawannya, terutama Angkatan Darat; dan Orde Demokrasi diawali dengan krisis moneter, dan kemudian kerusuhan massal. Dua krisis sebelumnya melahirkan kepemimpinan alternatif yang relatif masih muda (Soekarno dan Soeharto), sedangkan krisis moneter 1997 tidak. Hal ini menerangkan bahwa kaderisasi kepemimpinan kita jalan di tempat. Kita ketahui bersama bahwa selama sepuluh tahun orde demokrasi, kaum muda hanya menjadi penonton saja. Hal ini memunculkan pertanyaan dalam kepala kita, apakah generasi muda tidak diberikan ruang untuk menjadi pemain drama utama dalam kepemimpinan nasional? Jika jawabannya yaitu ya, maka generasi muda harus merebutnya. Tentunya dengan persiapan yang matang.
Kondisi tersebut menjadi cermin bagi kaum muda untuk tampil mengambil posisi kepemimpinan negeri ini. Kaum muda yaitu sosok yang sangat potensial sebagai pemimpin alternatif. Namun, pemimpin alternative jangan samapai menjadi ihwal kosong. Pemimpin alternatif yaitu sebuah usulan gres di tengah ‘paceklik’ kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan kita kini ini. Menurut Firmansyah kepemimipinan alternatif yaitu pemimpin yang mempunyai tipologi atau contoh kepemimpinan transformatif dan transaksional. Lebih lanjut ia mendefinisikan kepemimpinan transformatif sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, menyerupai kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi, menyerupai contohnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian. Kaprikornus , antar pimpinan dan yang dipimpin terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka sanggup mengoptimalkan usaha dan berhubungan untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan kearah tujuan yang ingin dicapai bangsa dan negara. Sedangkan kepemimpinan transaksional dimaknai sebagai gaya kepemimpinan yang pada dasarnya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan, maka presiden/ pucuk yang   dipilih secara eksklusif oleh rakyat,  dan  menjadi  kontrak politik dan social. Sehingga bisa  menyelesaikan kiprah dan tanggung jawab sesuai dengan kesepakatan yang telah dibentuk bersama sesuai dengan janji-janji  kampanye.
Menjadi pemimpin alternatif pilihan rakyat memang tidak mudah, apalagi bagi tokoh muda negeri ini. Tokoh muda harus mempunyai kriteria pemimpin yang ideal antara lain berdasarkan Saiful Mujani adalah, bisa dipercaya (integritas), tenggang rasa pada rakyat, punya penampilan berwibawa, cukup lezat dilihat, dan dinilai bisa memimpin untuk mengatasi masalah-masalah yang dirasakan paling mendesak oleh rakyat, terutama yang berkaitan dengan ekonomi (kompetensi). Selain kapasitas personal tersebut, harus diakui bahwa dari segi popularitas tokoh muda jauh ketinggalan dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang sudah populis dimana didominasi oleh kaum tua. Sebut saja Amin Rais, Sutiyoso, Sultan Hamengkubuwono, Megawati, dan SBY-JK. Untuk mendongkrak popularitas, media merupakan wadah yang belum tergantikan kiprahnya hingga ketika ini. Di samping itu juga, tokoh-tokoh muda juga harus bisa membangun jaringan lintas organisasi mahasiswa dan kepemudaan baik regional maupun nasional, organisasi keprofesian, ormas serta membangun jaringan lintas partai.
KAMMI dan Kepemimpinan Alternatif
Menjadi menarik jikalau ihwal kepemimpinan alternatif ini direfleksikan dalam konteks suksesi kepemimpinan pada organisasi mahasiswa yang berjulukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dalam pemahaman saya, KAMMI sebagai basis kader muda bangsa harus mencitrakan dirinya sebagai basis kepemimpinan alternative. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa kepemimpinan alternative yaitu mereka yang mempunyai tipologi atau contoh kepemimpinan transformatif dan transaksional. Kepemimpinan transformatif yaitu pemimpin yang yang bisa mendesain visi pribadi menjadi visi bersama serta menterjemahkannya ke dalam bentuk praksis atau kerja nyata. Kepemimpinan transaksional yaitu mereka yang berani melaksanakan kontrak politik dengan seluruh jajaran KAMMI yang ada di Indonesia. Selain itu juga, kepemimpinan transaksional harus bisa membuat sasaran yang terang terkait dengan pengembangan KAMMI ke depannya. Kepemimpinan alternative tidak lahir begitu saja, akan tetapi mereka harus bisa melewati ujian kepemimpianan dalam skala kepemimpinan terkecil. Setidaknya dengan ujian tersebut akan menjadi bekal mereka menuju kepemimpinan nasional. Sebagai ujian awal, beranikah calon ketua umum KAMMI melaksanakan kontrak politik dengan seluruh jajaran KAMMI seluruh Indonesia untuk membuat transparansi kebijakan selama menjabat ketua umum KAMMI? Kita tunggu saja nyali para kandidat!
Advertisement

Iklan Sidebar